Jakarta, CNBC Indonesia - Status dolar Amerika Serikat (AS) sebagai mata uang cadangan devisa global kian terancam. Hal ini dipicu oleh sejumlah negara yang mengurangi ketergantungan akan dolar.
Aksi negara seperti China dan Brasil yang meninggalkan dolar membuat negara-negara lain, khususnya Asia, mengekor aksi serupa. Bank sentral Tanah Air, Bank Indonesia, mempersiapkan local currency transaction (LCT) yang akan memayungi transaksi lintas batas sehingga WNI tak perlu lagi melakukan transaksi dengan mata uang asing, termasuk dolar.
Skema ini benar-benar didorong ketika Indonesia menjadi keketuan ASEAN tahun ini. Bahkan, skema ini telah berjalan dengan beberapa negara di ASEAN hingga Korea Selatan dan China. Tidak hanya perdagangan, sistem pembayaran hingga investasi dengan negara-negara yang terikat perjanjian dengan RI ini bisa mengandalkan rupiah dan mata uang lokal negara yang bersangkutan.
Lima negara ASEAN, yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina telah meneken kerjasama transaksi pembayaran lintas batas sejak November 2022, di tengah pelaksanaan KTT G20 Indonesia.
Kerja sama pembayaran lintas batas 5 negara ASEAN tersebut mencakup kode QR, fast payment, data, RTGS, dan transaksi mata uang lokal.
Adapun, LCT ini dinilai banyak pihak sebagai upaya dedolarisasi. Bank Indonesia mengakui fenomena dedolarisasi ini dan menegaskan bahwa skema LCT berdampak positif bagi stabilitas rupiah.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan fakta fenomena 'buang dolar' alias dedolarisasi di kancah global yang semakin kencang.
Mengutip data Dana Moneter Internasional (IMF), Perry mengatakan penggunaan dolar di dunia telah berkurang dari 70% menjadi 50% saat ini.
"Ini adalah diversifikasi currency yang mendukung mata uang lokal," tegas Perry, dikutip Selasa (10/5/2023).
Pernyataan Perry tersebut tertuang jelas dalam data IMF. Dolar AS memang tetap dominan dalam cadangan devisa global meskipun bagiannya dalam cadangan devisa bank sentral telah turun dari lebih dari 70% pada tahun 1999 ke kisaran 50% pada akhir 2022, menurut data IMF.
Dikutip dari CNBC Internasional, data Komposisi Mata Uang Cadangan Devisa (COFER) IMF menunjukkan dolar AS menyumbang 58,36% dari cadangan devisa global pada kuartal keempat tahun lalu.
Fenomena dedolarisasi ini didorong oleh perubahan dinamika ekonomi global, termasuk sanksi AS untuk Rusia. Tren dedolarisasi diyakini dapat menguntungkan ekonomi lokal dalam beberapa cara.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgievas mengungkapkan bahwa dolar AS secara bertahap telah kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan utama dunia.
"Dalam sebuah konferensi di AS, Senin waktu setempat, ia berujar perubahan telah terjadi. "Ada pergeseran bertahap dari dolar, dulunya 70% dari cadangan, sekarang sedikit di bawah 60%," tegasnya di acara Global Milken Institute 2023 dikutip Senin (8/5/2023).
Meski belum bisa tergantikan dalam waktu dekat, tambahnya, pesaing AS terbesar sudah bermunculan. Ini antara euro, dengan potensi paling massif.
Ada pula pound Inggris, yen Jepang dan yuan China. "Mereka memainkan peran yang sangat sederhana," ujarnya.
Sebagai catatan, Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan semakin mematangkan persiapan dalam menciptakan alat pembayaran baru. Proses ini dibuat berdasarkan strategi pengurangan total mata uang dolar atau euro.
Hal tersebut diutarakan anggota parlemen Rusia Alexander Babakov saat berkunjung ke India. Dikutip dari media India, Livemint, Rabu (10/5/2023), sebuah laporan mengindikasikan bahwa mata uang baru akan diamankan dengan emas dan komoditas lain termasuk elemen tanah jarang.
'Si Biang Kerok'
China dan Brazil menjadi dua negara di dunia yang aktif 'membuang dolar'. China dan Brazil ini menghasilkan kesepakatan besar pada akhir Maret 2023 untuk menggantikan dolar dalam transaksi perdagangan mereka.
Nilai perdagangan China dan Brasil menembus US$ 171,49 miliar. China mengimpor produk senilai US$ 109,52 miliar.
Brazil adalah mitra dagangan terbesar ke 1-0 bagi Tiongkok sementara bagi Brazil, Tiongkok adalah mitra dagang besar bagi mereka.
China mengambilalih posisi AS sebagai mitra dagang utama utama Brazil pada 2009. Brazil juga menjadi penerima investasi terbesar China di kawasan Amerika Latin.
Nilai perdagangan kedua negara bisa meningkat dalam beberapa tahun ke depan mengingat China masih sangat membutuhkan besarnya kebutuhan baja dan kedelai.
Selain baja dan kedelai, kedua negara saling bertukar produk mulai dari tekstil hingga elektronik.
Sementara itu, China adalah negara yang paling ambisius menggeser dolar AS dari tahtanya. Tidak hanya melalui jalur perdagangan, China diketahui juga berambisi meningkatkan share renminbi dalam cadangan devisa dunia melalui program investasi ambisius mereka The Belt and Road Initiative.
China juga mengurangi kepemilikan mereka di surat utang pemerintah AS (US Treasury). Kepemilikan China atas US Treasury pada Januari 2023 tercatat US$ 859,4 miliar, terendah sejak Mei 2009.
Sebagai catatan, Uni Emirat Arab (UEA) yang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat di Timur Tengah mulai mengikuti langkah serupa.
UEA kini semakin dekat dengan India untuk menggunakan mata uang lokal rupee dan dirham sebagai pembayaran perdagangan non-minyak mentah. UEA merupakan mitra dagang terbesar ketiga India setelah Amerika Serikat dan China.
Perang Rusia vs Ukraina
Perang Rusia dengan Ukraina membuat aksi "buang" dolar Amerika Serikat (AS) semakin banyak terjadi. Sebabnya, langkah Amerika Serikat dan Sekutu yang membekukan cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar AS.
Dolar AS yang mendominasi dunia sejak 1920an membuat Amerika Serikat bisa menggunakannya sebagai senjata yang bisa merugikan negara-negara lain.
Bank sentral di berbagai negara pun banyak memborong emas pada tahun lalu agar cadangan devisa mereka lebih terdiversifikasi, tidak hanya didominasi dolar AS.
"Pesan yang diberikan oleh bank sentral dengan membeli banyak emas adalah mereka tidak mau tergantung dengan dolar AS sebagai aset utama dalam cadangan devisa," kata Carsten Menke, Head of Next Generation Research di Julius Baer, sebagaimana dikutip Financial Times, Kamis (29/1/2022).
"Langkah bank sentral kembali ke emas menunjukkan latar belakang geopolitik saat ini adalah ketidakpercayaan, keraguan dan ketidakpastian setelah Amerika Serikat dan sekutu membekukan cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar," kata Adrian Ash, Kepala riset BullionVault.
Kepala riset BullionVault, Andrian Ash mengatakan Amerika Serikat (AS) dan sekutu yang membekukan cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar AS menjadi salah satu pemicu bank sentral kembali memborong emas.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Bos The Fed Sebut Terjadi Disinflasi di AS, Maksudnya Apa Ya?
(haa/haa)
Dolar AS Kini 'Dibuang', Ini Negara yang Jadi Biang Keroknya - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment