Jakarta, CNBC Indonesia - Tapering yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Tapering yang selama ini dianggap sebagai momok bagi pasar keuangan ternyata tak seseram itu. Well, setidaknya untuk tahun ini.
Bank sentral AS, The Federal Reserves Bank alias The Fed semalam mengumumkan tapering bakal dilakukan akhir bulan ini dengan besaran pengurangan likuiditas sebesar US$ 15 miliar per bulan sehingga pertengahan tahun depan agenda tapering selesai.
Kalau berkaca pada 2013 silam, dampak tapering memang mengerikan karena mengguncang pasar finansial. Imbal hasil (yield) SUN naik, indeks saham rontok dan nilai tukar rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar AS.
Namun kali ini Indonesia yang dulu terkena dampak signifikan sudah siap dengan tapering. Amunisi untuk menghadapi tapering bisa dibilang banyak mulai dari transaksi berjalan yang defisitnya kecil, cadangan devisa tinggi dan valuasi aset keuangan yang menarik.
Namun sebenarnya apa sih tapering itu? Kok sampai banyak pelaku pasar yang ketar-ketir? Apa latar belakangnya? Bagaimana mekanismenya?
Well, sebelum membahas tapering, hal yang perlu diketahui adalah kebijakan moneter berupa Quantitative Easing atau sering disingkat QE.
Secara sederhana QE bisa dibilang kebijakan moneter non-konvensional yang ditempuh bank sentral untuk meningkatkan likuiditas di perekonomian ketika kebijakan konvensional dinilai sudah tidak efektif lagi.
Kebijakan QE hanya dilakukan ketika terjadi kondisi kahar (force majeur) alias mendesak seperti saat ekonomi resesi dan butuh formula untuk menstimulasi agar ekonomi bangkit. Di negara maju, suku bunga sudah rendah dan mendekati nol persen dan sulit turun lebih dalam lagi.
Namun penurunan suku bunga saja tak cukup. Maka bank sentral dalam kasus ini The Fed akan 'mencetak uang'. Dari uang yang dicetak tersebut akan dibelikan obligasi pemerintah atau bahkan dalam kasus khusus obligasi perusahaan dengan rating yang memadai juga turut diborong.
Jumlah yang besar untuk dibelikan obligasi ini akan membuat harga aset pendapatan tetap tersebut naik. Kalau harga naik berarti yield turun. Dengan penurunan yield diharapkan biaya meminjam (borrowing cost) bisa turun dan appetite orang untuk pinjam uang guna ekspansi usaha atau konsumsi meningkat yang berujung pada mendorong ekonomi untuk muter lagi.
Namun konsekuensi ketika ekonomi muter lagi adalah inflasi. Bank sentral tak bisa membiarkan inflasi bergerak liar, terlalu tinggi (hyperinflation) atau terlalu rendah dan malah turun (deflation). Ketika likuiditas yang berlimpah tadi memicu inflasi maka injeksinya harus dikurangi.
Nah, pengurangan injeksi likuiditas inilah yang disebut sebagai tapering. Artinya bank sentral tak akan membeli obligasi atau aset lain dengan jumlah yang jumbo terus menerus. Besarannya dikurangi. Dampaknya peningkatan likuiditas tak akan tinggi.
Selama ini banjir likuiditas inilah yang menyebabkan harga aset mulai dari saham, obligasi, kontrak komoditas hingga cryptocurrency beterbangan. Dengan likuiditas yang berkurang artinya bahan bakar untuk mendorong penguatan aset tersebut menjadi lebih terbatas.
Ditambah lagi dengan harga aset yang sudah terbang tinggi dapat memantik aksi profit taking. Aksi jual di pasar bisa membuat harga aset turun. Setidaknya inilah dampak tapering tahun 2013 silam.
Namun jangan khawatir walau The Fed melakukan tapering seperti yang sudah disampaikan di atas, Indonesia lebih siap. Buktinya setelah bos The Fed Jerome Powell mengumumkan adanya tapering harga saham domestik justru menguat dan asing masih lanjut belanja saham di dalam negeri.
Lagipula strategi komunikasi the Fed juga jauh lebih jelas untuk agenda tapering saat ini, berbeda dengan zaman Ben Bernanke tahun 2013 silam. Kala itu tepatnya di bulan Juni, tak ada angin tak ada hujan, The Fed mulai mewacanakan tapering. Pasar yang kaget akhirnya merespons negatif wacana tersebut.
Ditambah lagi pendekatan the Fed yang terukur untuk mengurangi likuiditas dengan laju US$ 15 miliar juga sudah jauh-jauh hari diantipasi pasar. Jadi memang tak ada surprise yang bisa membuat pasar bergejolak.
Lebih lanjut, bank sentral paling adidaya di dunia tersebut juga menegaskan tak akan terburu-buru menaikkan suku bunga acuan sebelum pasar tenaga kerja AS mencatatkan pertumbuhan dan memandang bahwa kenaikan inflasi hanya bersifat temporer setidaknya hingga pertengahan tahun depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
(trp/trp)
Bikin Geger, Apa Itu Tapering The Fed AS? - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment