Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak kelapa sawit yang melamah sepanjang tahun berharap mengalami perubahan pada tahun depan dengan mengambil peluang dari kondisi gejolak geopolitik dan El Nino.
Trading Economics mencatat harga minyak kelapa sawit telah mengalami penurunan 9,61% sejak awal 2023 berdasarkan perdagangan Contract of Difference (CFD). Adapun harga minyak sawit per 2 November 2023 turun 13% secara tahunan menjadi MYR3.773 per ton.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono mengakui sepanjang 2023, kinerja industri kelapa sawit diakui tidak semulus pada 2022. Musababnya, windfall komoditas strategis ini telah berlalu.
Eddy menyebut penurunan harga minyak sawit juga telah terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Merosotnya harga minyak sawit, dipicu oleh melemahnya daya beli akibat adanya pelemahan ekonomi di berbagai negara importir minyak sawit. Sementara di sisi lain, stok di negara-negara produsen melimpah.
Kendati demikian, Eddy mengatakan para pengusaha optismistis harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) akan bullish pada tahun depan.
Dia menuturkan, salah satu faktor mendasari optimisme para pengusaha yakni adanya fenomena El Nino pada tahun ini mengerek produksi tahun depan. Di sisi lain, dengan adanya fenomena El Nino, diproyeksikan harga minyak sawit akan turut terkerek seiring dengan kurangnya pasokan.
"Kami yakin dengan kebijakan pemerintah yang tepat, industri kelapa sawit dapat tumbuh dengan mantap di tengah dinamika pasar dan perekonomian," kata Eddy saat membuka Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Kamis (2/11/2023).
Lebih lanjut, Eddy mengatakan peluang kenaikan harga CPO di tengah gejolak konflik geopolitik global sebelumnya telah terjadi di tahun lalu. Pasalnya, invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan hambatan pasokan energi dan pangan hingga mendongkrak harga komoditas, termasuk CPO.
"Kita tidak berharap sih konflik yang terjadi membuat ekonomi global jadi jelek. Tapi kita harus memanfaatkan peluang yang ada," ungkapnya.
Eddy mengatakan permintaan minyak nabati dari pembeli di luar negeri cenderung terjadi secara rutin karena masuk dalam kebutuhan sehari-hari.
Namun, dia menekankan bahwa konflik geopolitik berkepanjangan yang menyebabkan krisis ekonomi secara global juga berisiko pada penurunan permintaan.
"Ekonomi dunia menurun itu pasti permintaan turun, contohnya waktu Covid itu permintaan turun. Jangan sampai berkepanjangan itu tidak bagus," kata Eddy.
Dilansir dari Bloomberg, Ekonom Pertanian dan Direktur Pelaksana Gleanuk Economics, Julian McGill mengatakan fenomena El Nino diperkirakan memangkas seperlima dari total produksi kelapa sawit Indonesia.
Menurutnya, kondisi itu akan menyebabkan tidak adanya pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia pada tahun depan.
"Namun belum cukup untuk menunjukkan penurunan besar dalam output. Kita perlu terus memantau defisit kelembaban tanah,” jelasnya.
Di sisi lain, kondisi geopolitik, harga bahan bakar fosil, perang di Ukraina dan Timur Tengah diprediksi akan menjadi pendorong utama perbaikan harga CPO.
Meningkatnya harga minyak bumi cenderung mendorong lebih banyak permintaan terhadap bahan bakar yang berasal dari tanaman seperti kelapa sawit dan kedelai.
Indonesia, lanjutnya, dengan mandatori untuk meningkatkan penggunaan minyak sawit sebagai campuran solar hingga 35% pada 2023 dan rencana peningkatan 40% diproyeksikan bakal mengerek harga CPO lebih lanjut.
Sentimen Negatif Masih Membayangi
Kendati terdapat optimisme untuk harga minyak sawit ke depannya, tapi sejumlah sentimen negatif masih akan membayangi tekanan terhadap harga minyak sawit.
CEO Westbury Group dari Pakistan Abdul Rasheed Janmohamed mengatakan melimpahnya pasokan minyak biji bunga matahari dari Kawasan Laut Hitam, Rusia, Ukraina akan menjadi sentimen negatif bagi harga minyak nabati lainnya.
Dia menuturkan, harga sunflower oil saat ini di Pakistan lebih rendah dari minyak kedelai. Hal itu membuat harga-harga minyak nabati lainnya ikut turun.
"Mereka [sunflower oil] lebih rendah US$100 dolar dari minyak kedelai. Itu lah kenapa dia menarik harga minyak nabati lain," ujar Rasheed di Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Nusa Dua, Bali, Jumat (3/11/2023).
Di lain pihak, tren demografis dan munculnya alternatif bahan bakar terbarukan telah menekan permintaan minyak nabati dari China.
Analis Industri dan Pertanian Global, Bloomberg Intelligence, Alvin Tai mengatakan China telah mengalami penurunan populasi pertamanya dalam satu dekade terakhir pada 2022.
Tingkat kelahiran di China di tahun lalu mencapai rekor terendah yakni 6,7 kelahiran dari 1.000 penduduk. Fenomena itu menyebabkan persentase jumlah penduduk China berusia di atas 40 tahun mencapai sekitar 45%.
Menurut Alvin, berdasarkan riset yang dilakukan, konsumsi minyak goreng di kalangan usia 30-an cenderung berkurang dengan alasan kesehatan. "Tren konsumsi minyak goreng di China hampir mendekati puncaknya, mencapai 9 kilogram per kapita,"
Alvin mengatakan, elektrifikasi kendaraan menjadi berbasis baterai listrik juga mempengaruhi permintaan minyak nabati untuk bahan bakar atau biofuel. Selain itu, kehadiran potensi sel fuel hidrogen menjadi sumber energi transportasi juga berisiko menurunkan penggunaan minyak nabati.
Dia pun memperkirakan, permintaan minyak sawit oleh China kepada Indonesia maupun India akan mengalami perlambatan. Alvin memperkirakan, permintaan minyak sawit oleh China di tahun depan hanya berkisar 9 - 10 juta ton.
Kendati begitu, Alvin menegaskan bahwa perlambatan permintaan tidak hanya terjadi pada minyak makan (edible oil). Menurutnya, degradasi penduduk di China juga akan menekan konsumsi dan permintaan produk pangan lainnya. Sementara untuk memulihkan populasi, kata Alvin memerlukan waktu setidaknya 1-2 dekade.
"Saya pikir tidak akan ada banyak perubahan. Ini [permintaan] tidak akan meningkat seperti yang kita lihat dalam 20 tahun terakhir," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Harga Minyak Sawit Memetik Peluang Gejolak Geopolitik dan El Nino - Bisnis.com
Read More
No comments:
Post a Comment