Jakarta, CNBC Indonesia - Seretnya pasokan valuta asing atau valas di dalam negeri dapat menyebabkan pengusaha beralih mencari pendanaan dari asing.
Seperti diketahui, likuiditas valas di dalam negeri tengah tertekan. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan kredit valasnya lebih tinggi dibandingkan dana pihak ketiga valas. Mengutip data terakhir Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit valas tumbuh 16,82% dan DPK valasnya 5,8%.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani mengingatkan jika masalah likuiditas ini tidak diselesaikan segera maka industri yang memerlukan bahan baku impor akan melirik pendanaan atau kredit dari bank asing.
"Mau tidak mau ya bank kalau gak bisa kasih pinjaman mereka [pengusaha] ke bank asing," ujar Aviliani dalam Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Senin (12/9/2022).
Inilah mengapa bank di Tanah Air tengah berlomba-lomba memenuhi kebutuhan valas. Efek ketatnya likuiditas valas pun berujung pada bunga kredit valas yang tinggi. Bukan hanya itu, Aviliani mengingatkan risiko lainnya, yakni pelemahan rupiah.
"Ini hukum permintaan penawaran ketika permintaannya tinggi tetapi penawarannya tidak ada, maka rupiah kita akan semakin melemah, jika rupiah melemah bahaya terhadap inflasi," tegas Aviliani.
Saat ini, laju inflasi di dalam negeri sudah dibebani oleh kondisi pasokan yang terganggu. Kemudian, ada kenaikan harga BBM. "Kalau semakin tinggi dampaknya kan bisa double digit. Itu efek yang paling bahaya, karena ekonomi kita akan terganggu. Kemiskinan makin tinggi," tambahnya.
Lebih lanjut, dia pun mengungkapkan efek terburuk dari likuditas seret dan pengusaha mencari pinjaman dari luar negeri, maka risiko krisis keuangan, seperti pada 1998, kembali muncul.
"Kemudian dari likuiditas sendiri, menurut saya memang mereka pinjam ke bank asing. Memang kita harus ingat tahun 98, bagaimana pembengkak terjadi pada pinjaman perusahaan-perusahaan karena pelemahan nilai tukar yang akhirnya utang mereka lebih tinggi daripada aset," kata Aviliani.
Oleh sebab itu, dia berharap pemerintah dan BI melakukan keseimbangan. "BI tetap mengintervensi agar tidak terjadi pelemahan rupiah. Mungkin BI juga mencari pinjaman juga untuk menjaga likuiditas."
Pemerintah sendiri telah mengupayakan dengan menerbitkan global bonds.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan global bond dalam denominasi dolar AS dengan format SEC Shelf Registered senilai US$ 2,65 miliar atau sekitar Rp 39,55 triliun dalam 3 seri minggu lalu di bursa Singapura dan Jerman (7/9/2022).
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer
(haa/haa)
Awas! 'Kiamat' Dolar Berisiko Picu Krisis 98 Terulang - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment