Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat melaju kencang di kuartal keempat tahun lalu, yang mana selama tiga bulan terakhir 2020 IHSG tercatat menguat hingga 22,77%.
Kondisi tersebut kini terlihat mulai jalan di tempat, yang mana sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan Selasa (28/9), IHSG tercatat hanya menguat 0,13%. Lebih parah lagi nasib indeks LQ45 yang sejak awal tahun telah terkoreksi hingga 10,30%.
Padahal akhir tahun lalu, perusahaan jasa keuangan global asal AS, JPMorgan memprediksi perekonomian Indonesia akan tumbuh pada tahun depan dengan IHSG bisa melesat hingga mencapai rekor 6.800 pada akhir Desember 2021.
Walaupun masih terdapat beberapa perusahaan yang baru akan melantai (IPO) di kuartal keempat dan masih terdapat juga aksi korporasi yang belum tuntas, jika berkaca pada kondisi pasar modal saat ini prediksi tersebut sepertinya tinggal menjadi angan-angan belaka.
Tahun ini IHSG diselamatkan oleh sektor teknologi yang memiliki kinerja yang fantastis, meningkat hingga 423% sejak awal tahun. Akan tetapi pencapaian itu pudar akibat kinerja beberapa emiten besar yang lesu, emiten-emiten tersebut juga merupakan yang paling likuid dan masuk ke dalam indeks LQ45.
LQ45 adalah indeks yang mengukur kinerja harga dari 45 saham yang memiliki likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar besar serta didukung oleh fundamental perusahaan yang baik. Indeks LQ45 terdiri atas 45 emiten yang dipilih berdasarkan pertimbangan likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria lain yang telah ditentukan.
Performa buruk indeks LQ45 sejak awal tahun disebabkan oleh amblesnya kinerja saham beberapa perusahaan kapitalisasi besar. Meskipun demikian terdapat pula beberapa emiten yang tumbuh signifikan hanya saja masih tidak mampu mengimbangi kinerja buruk emiten lain.
Berikut Tim Riset CNBC Indonesia merangkum 7 emiten yang menyebabkan indeks LQ45 masih tertekan sejak awal tahun
1. Unilever Indonesia
PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang bergerak di bidang manufaktur dan perdagangan barang komsumsi ini merupakan konstituen dengan pelemahan terbesar, tercatat sejak awal tahun harga sahamnya telah melemah hingga 48,03%, mengingat kapitalisasi pasarnya yang besar dengan angka mencapai Rp 145,73 triliun amblesnya saham ini merupakan pukulan telak bagi indeks LQ45.
Awal tahun ini kapitalisasi pasar UNVR tercatat sebesar Rp 285,17 triliun, peringkatnya pun perlahan juga turun dari posisi 3 di awal November 2020, pertengahan September 2021 hanya nagkring di posisi kedelapan.
2. Perusahaan Gas Negara
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) juga mengalami pelemahan harga saham yang cukup signifikan, sejak awal tahun saham ini telah terkoreksi 29,91% dan kini kapitalisasi pasarnya tercatat sebesar Rp 28,12 triliun.
3. Bank Tabungan Negara
Emiten perbankan pelat merah yang fokus pada kredit perumahan, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) sejak awal tahun sahamnya telah nyungsep hingga 21,74%. Meski demikian karena kapitalisasinya relatif kecil atau sebesar Rp 14,30 triliun, guncangan yang diakibatkan tentu tidak separah Unilever.
4. Bank Negara Indonesia
Sejak awal tahun harga saham BBNI telah melemah 18,22%, dengan kapitalisasi pasar yang relatif besar yakni mencapai Rp 94,18 triliun
5. Astra International
PT Astra International Tbk (ASII) yang merupakan salah satu emiten paling besar di Bursa Efek Indonesia juga mengalami pelemahan yang cukup dalam. Tercatat sejak awal tahun saham ini terkoreksi 15,77%, dengan kapitalisasi pasar yang mencapai Rp 205,45 triliun, efek dari pelemahan harga sahamnya berkontribusi cukup besar kepada indeks LQ45.
6. Vale Indonesia
Emiten tambang nikel, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) juga ikut mengalami pelemahan 7,84% sejak awal tahun ini. Pelemahan ini terjadi seiring meroketnya harga komoditas yang merupakan penggerak utama bisnis perusahaan. Kapitalisasi pasar INCO tercatat Rp 46,70 triliun.
7. Bank Rakyat Indonesia
Terakhir adalah emiten terbesar kedua di bursa yang baru saja melaksanakan rights issue, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), yang meski sahamnya hanya melemah 7,60% sejak awal tahun memiliki dampak signifikan mengingat kapitalisasi pasar emiten ini mencapai Rp 564,86 triliun.
Meski demikian masih terdapat beberapa emiten yang tergabung dalam konstituen LQ45 yang mengalami penguatan, bahkan Tower Bersama (TBIG) milik Grup Djarum tercatat naik 83,44% sejak awal tahun. Akan tetapi karena kapitalisasi pasarnya tergolong menegah atau sebesar Rp 67,74 triliun hal ini tidak dapat menolong LQ45 keluar dari zona merah.
Beberapa saham lain yang menguat adalah Erajaya Swasembada (ERAA) yang naik 37,50% kapitalisasi pasar hanya Rp 9,65 triliun serta Adaro Energi (ADRO) yang tercatat naik 21,68% sejak awal tahun dengan kapitalisasi pasar Rp 55,66 triliun.
[Gambas:Video CNBC]
(hps/hps)
7 Saham yang Jadi Pemicu Indeks LQ45 Babak Belur Tahun Ini - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment