Rechercher dans ce blog

Sunday, August 8, 2021

Ketua OJK Ungkap Kondisi Sektor Keuangan Terkini Saat Pandemi - CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 masih terus terjadi di dunia, termasuk Indonesia, yang juga didera gelombang kedua pandemi. Ini karena munculnya virus corona varian delta yang cepat menyebar. Situasi ini menekan sektor ekonomi, termasuk sektor keuangan di dalam negeri.

Memang di kuartal II-2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia melonjak tinggi hingga 7,07%. Kendati demikian, situasi di kuartal III-2021 diproyeksi akan ada tekanan lagi karena kebijakan PPKM yang diperketat pemerintah untuk menekan laju penularan Covid-19.

Berikut buka-bukaan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso soal kondisi terkini sektor keuangan di Indonesia dan rencana kebijakan OJK ke depan, dalam acara media briefing, Minggu (8/8/2021).


Bagaimana perkembangan fungsi intermediasi perbankan?
Di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus dikendalikan oleh pemerintah, fungsi intermediasi perbankan mulai tumbuh positif meskipun belum kuat, OJK mencatat kredit perbankan pada Juni 2021 meningkat sebesar Rp 67,39 triliun dan telah tumbuh sebesar 0,59% (yoy) atau 1,83% (ytd) menjadi Rp 5.581,8 triliun. Ini meneruskan tren perbaikan selama empat bulan terakhir seiring berjalannya stimulus pemerintah, OJK, dan otoritas terkait lainnya.

Perbaikan ini didorong oleh mulai membaiknya permintaan kredit seiring dengan berlanjutnya pemulihan kinerja dan aktivitas korporasi, rumah tangga dan UMKM. Dengan adanya PPKM Level 3 dan 4 di Juli dan Agustus ini, kemungkinan akan memberi tekanan kepada sektor riil yang berdampak pada permintaan kredit di kuartal II-2021. Kami meyakini, dengan menurunnya angka kasus positif harian diikuti pelonggaran PPKM secara bertahap, maka permintaan kredit akan meningkat kembali seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat dan pembukaan kembali berbagai aktivitas ekonomi.

Menurut OJK, baiknya apa saja yang harus dilakukan perbankan nasional (BUMN maupun swasta) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Perbankan nasional, termasuk BPD, harus jeli dan cermat menganalisis dinamika ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah operasionalnya masing-masing. Di samping langkah-langkah efisiensi operasional harus terus dilakukan, utamanya melalui transformasi digitalisasi perbankan, tetap saja sumber pendapatan bank adalah dari pendapatan bunga kredit.

Untuk itu, fungsi intermediasi secara individual bank bisa dilakukan di daerah-daerah yang menunjukkan pertumbuhan regional (PDRB) yang positif. Mengacu pada data BPS terkini, PDB pulau Jawa mampu tumbuh 7,88% (di atas PDB nasional yang 7,07%) bisa dijadikan tumpuan penyaluran kredit untuk semua jenis penggunaan.

Hal yang sama juga bisa dilakukan di Sulawesi yang PDB-nya tumbuh 8,51%; Maluku dan Papua 8,75%; dan Sumatra 5,27%. Masing-masing wilayah ini memiliki keunggulan atau karakteristik perekonomian sehingga perbankan bisa menyalurkan kreditnya di sektor-sektor ekonomi unggulan di masing-masing daerah supaya kreditnya tetap lancar.

Sebagai contoh: Jawa unggul di bidang industri pengolahan. Sumatra unggul hasil pertanian/perkebunan/ kehutanan. Kalimantan unggul dengan hasil pertambangan dan kehutanan (perkayuan). Maluku dan Papua unggul dengan perikanan. Sulawesi unggul dengan hasil pertambangan (nikel/feronikel di Morowali, Kendari) dan perikanan. Bali dan Nusa Tenggara sudah tumbuh positif 3,7% (jauh di bawah PDB nasional yang 7,07%) sehingga restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 masih menjadi tugas utama perbankan di daerah ini.

Faktor apa yang menghambat pertumbuhan kredit, mengapa alokasi dana pihak ketiga lebih kepada penempatan Surat Berharga Negara (SBN)?
Pandemi Covid-19 yang direspons dengan kebijakan pembatasan sosial berdampak pada pelemahan aktivitas ekonomi. Dampak lanjutannya, permintaan masyarakat (rumah tangga) yang selama ini menjadi tulang punggung PDB nasional tertekan. Lebih lanjut, pelaku usaha mengurangi aktivitas usahanya atau bahkan menutup usahanya sehingga menurunkan permintaan kredit. Bahkan fasilitas kredit yang sudah diterima pun dilunasi secepatnya untuk menyehatkan keuangan mereka.

Di saat permintaan kredit melemah, dana pihak ketiga (DPK) perbankan meningkat signifikan double digit (Juni 2021: 11,28% yoy) karena meningkatnya disposable income (pendapatan masyarakat yang tersimpan di rekening bank) karena penggunaan dana untuk konsumsi dan keperluan lain oleh masyarakat juga menurun. Ini yang menyebabkan DPK perbankan "terkesan" meningkat tajam dibandingkan peningkatan kredit di masa pandemi, karena sebenarnya pemilik dana tidak menggunakan dananya secara normal sebagaimana di masa sebelum pandemi.

Pada saat yang sama, Bank Indonesia melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan rasio GWM rupiah sehingga menambah likuiditas yang sangat longgar di perbankan, tercermin pada rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi, yakni 32,95%. Bagi perbankan, kondisi likuiditas yang amat longgar harus diproduktifkan dengan strategi yield enhancement melalui penempatan ekses likuiditas di instrumen investasi yang memberikan yield positif dan risiko termitigasi. Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah (Kemenkeu) menjadi instrumen paling tepat sehingga bank dapat menikmati pendapatan dari yield SBN sekaligus bank memainkan peran intermediasi secara tidak langsung. Bagi bank publik, pemegang saham dan investor menilai manajemen bank mampu mengelola going concern mereka terkait profitabilitas bank karena bagaimana pun bank dituntut mampu membukukan earnings atau laba yang baik.

Bagaimana dampak PPKM yang berkepanjangan terhadap kemampuan membayar cicilan debitur?
Sejauh ini tidak ada masalah yang mengemuka. Kami meyakini perbankan telah berkomunikasi dengan para debiturnya terkait bagaimana pemenuhan kewajiban debitur di masa pandemi Covid-19 baik yang diikuti kebijakan PPKM. Tentu solusinya adalah win-win atau mutual benefit.

Bagaimana pantauan OJK terhadap tren restrukturisasi yang sebelumnya sempat melandai, apakah berpotensi terjadi peningkatan lagi?
Hingga 14 Juni 2021 lalu, total outstanding kredit restrukturisasi terdampak Covid-19 sebesar Rp 777,31 triliun. Sebesar Rp 292,39 triliun atau 37,62% berasal dari UMKM, sedangkan non-UMKM sebesar Rp 484,92 triliun atau 62,38%. Kebijakan restrukturisasi kredit direspons cukup baik oleh sektor riil maupun perbankan. Hingga posisi 14 Juni 2021, tercatat ada 101 bank yang telah melakukan implementasi restrukturisasi kredit.

Dengan demikian, restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 menunjukkan perbaikan tercermin dari menurunnya jumlah baki debet (outstanding) kredit yang direstrukturisasi. Meskipun ada PPKM, kami berharap restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 terus berlanjut dengan baik untuk menjaga kinerja perbankan baik secara industri maupun individual bank. Dunia usaha pun pulih dan semakin kuat melanjutkan usahanya.

Dari pantauan OJK, dari kredit yang direstrukturisasi karena Covid-19, berapa besarkah kredit yang akan menjadi bad debt?
Harapan kami restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 dapat terus dilakukan dengan berbagai cara atau strategi yang dilakukan oleh bank-bank dengan para debiturnya mengacu kepada POJK Nomor 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Counter Cyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.

Dengan mempertimbangkan perkembangan pandemi Covid-19 yang hingga saat ini angka kasus positif hariannya masih relatif tinggi (rata-rata 30.000 kasus), kami melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan. Langkah ini ditempuh untuk memenuhi kepentingan semua pihak, yaitu pemerintah, otoritas, perbankan, dunia usaha dan masyarakat luas yang sedang secara bersama-sama bekerja keras mendorong pemulihan ekonomi. Di sini kami juga mengingatkan perbankan untuk senantiasa memelihara rasio cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai sebagai antisipasi menuju ke fase normalisasi.

Bagaimana dengan restrukturisasi perusahaan tekstil, Garuda Indonesia, Krakatau Steel dan beberapa BUMN karya? Seberapa kuat ketahanan perbankan terhadap beban restrukturisasi?
Proses restrukturisasi korporasi swasta maupun BUMN, apapun sektor usahanya, terus berjalan sesuai dengan praktik restrukturisasi korporasi yang berlaku. Pemilik dan pengurus korporasi tentu memiliki strategi yang tepat dalam melakukan restrukturisasi korporasi ini. Sedangkan khusus untuk kredit bermasalah yang dialami korporasi/BUMN karena terdampak pandemi Covid-19, maka rujukan restrukturisasinya adalah POJK Nomor 48/POJK.03/2020. Dengan restrukturisasi yang dijalankan dengan baik, ketahanan perbankan dapat dijaga dengan baik pula. Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Mei 2021 tetap tinggi sebesar 24,28%, dan rasio kredit bermasalah (NPL) tetap terjaga, yakni 3,35% (bruto) dan 1,10% (neto).

Seperti apa seharusnya antisipasi yang dilakukan perbankan untuk menjaga tingkat NPL jika kebijakan restrukturisasi akan normalisasi kembali?
Antisipasi perbankan di tahap awal sebelum kredit diberikan adalah melakukan credit assessment yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait credit risks management. Pada saat kredit berjalan, pemantauan wajib dilakukan dengan ketat terkait penggunaan fasilitas kredit, yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas kredit. Jika sampai terjadi penurunan kualitas kredit hingga menjadi NPL, maka kalau penyebabnya adalah pandemi Covid-19, bank dapat mengacu pada POJK Nomor 48/POJK.03/2020 untuk restrukturisasi kreditnya. Jika NPL terjadi bukan karena dampak pandemi, bank bisa menggunakan kebijakan restrukturisasi NPL standar sesuai aturan yang berlaku

OJK berencana memperpanjang restrukturisasi kredit perbankan, apa latar belakangnya? Untuk berapa lama akan diperpanjangan dan kapan aturannya akan dirilis?
OJK mempertimbangkan perpanjangan kebijakan relaksasi kredit yang akan berakhir pada Maret 2022. Hal ini dilakukan karena upaya pemulihan ekonomi nasional terhambat oleh pembatasan mobilitas masyarakat akibat lonjakan angka positif Covid-19. OJK melihat adanya pembatasan mobilitas masyarakat akibat meningkatnya angka yang terpapar Covid-19 sekarang ini bisa menyebabkan upaya pemulihan ekonomi yang dijalankan Pemerintah terhambat.

Oleh karena itu, OJK melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan yang selama ini sudah diatur dalam POJK Nomor 48/POJK.03/2020 dan restrukturisasi pembiayaan di Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berdasarkan Peraturan OJK Nomor 58/POJK.05/2020.

Perpanjangan beleid ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi perbankan dan dunia usaha bertahan dan melanjutkan usahanya untuk menopang pemulihan perekonomian nasional. Keputusan resmi OJK akan dikeluarkan paling lambat akhir Agustus 2021. Saat ini rencana perpanjangan kembali POJK Nomor 48/2020 masih dalam pengkajian di internal OJK.

Selama pandemi, perbankan ternyata masih bisa menumbuhkan pendapatan bersih bunganya, margin keuntungan pun naik padahal adopsi digital seharusnya membuat biaya operasional menjadi lebih murah. Suku bunga kredit Bank yang relatif tinggi dapat menahan permintaan kredit di tengah sulitnya dunia usaha selama pandemi. Mengapa suku bunga kredit sulit untuk turun lebih rendah? Bagaiamana tanggapan OJK mengenai NIM relatif masih besar meski kredit tumbuh kecil?
Sejatinya suku bunga sudah bergerak turun baik untuk simpanan maupun kredit. Di pasar uang dan pasar dana, suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) overnight dan suku bunga 1 bulan deposito perbankan telah menurun, masing-masing sebesar 153 bps dan 209 bps sejak Mei 2020 menjadi 2,79% dan 3,60% pada Mei 2021.

Di pasar kredit, penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan terus berlanjut, yaitu menurun sebesar 169 bps sejak Mei 2020 menjadi 8,86% pada Mei 2021. Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) menjadi pendorong utama penurunan SBDK. Di sisi lain, premi risiko perbankan menunjukkan penurunan, yang mengindikasikan persepsi risiko perbankan terhadap dunia usaha cenderung membaik.

Penurunan premi risiko tersebut mendorong penurunan suku bunga kredit baru di hampir semua kelompok bank. Berdasarkan jenis kredit, penurunan suku bunga kredit baru paling dalam terjadi pada jenis kredit mikro, diikuti kredit investasi dan modal kerja.

Terkait Net Interest Margin (NIM) yang masih relatif masih tinggi menurut persepsi masyarakat, sebetulnya hal itu merupakan mekanisme pasar perbankan. Dengan semakin tingginya literasi keuangan masyarakat, diharapkan masyarakat akan memilih bank yang memberikan layanan yang lebih berkualitas daripada iming-iming suku bunga.

Suku bunga kredit yang kompetitif (lebih rendah dibanding bank-bank pesaing) akan menjadi faktor utama menarik debitur yang pada gilirannya akan menekan bank untuk menurunkan NIM. Penurunan NIM harus diikuti dengan peningkatan efisiensi operasional sebagai kompensasinya sehingga bottom line (net profit) bank tetap terjaga baik. Efisiensi operasional bisa dilakukan dengan mengubah cara kerja bank melalui transformasi digitalnya. Paralel dengan itu, di masa pandemi ini diperlukan upaya cerdas untuk mendorong kenaikan fee based income (pendapatan non bunga) melalui layanan digital transactional banking.

Berdasarkan kelompok Bank, BUMN yang paling besar menaikkan margin keuntungan selama periode Maret-Mei 2021, sedangkan seharusnya BUMN berperan sebagai agen pembangunan, belum lagi dengan target dividen yang terlampau tinggi yang sepertinya tidak sejalan dengan konsep sharing the pain. Apakah akan ada kebijakan khusus dari OJK untuk mendorong penyaluran kredit perbankan di masa pandemi ini, terutama untuk Bank BUMN?
Istilah yang benar bukan bank menaikkan NIM, melainkan kecakapan bank dalam mengelola pendapatan bunga dengan beban bunga yang menyebabkan NIM terkesan naik. Kami tahu setiap individual bank harus menjaga NIM pada level tertentu untuk dapat mempertahankan kinerjanya. Terkait deviden Bank BUMN, hal itu menjadi domain pemegang saham.

Terkait dorongan penyaluran kredit di masa pandemi, OJK senantiasa melakukan komunikasi kepada perbankan bagaimana mendorong fungsi intermediasi secara ekstra hati-hati. OJK tidak bisa memaksakan bank-bank harus melakukan ekspansi kredit karena semua terpulang kembali kepada policy setiap bank. Pemegang saham lebih memiliki concern untuk memberikan guidance supaya bank tetap menyalurkan kredit di masa pandemi dengan koridor prudensial yang tinggi. Kami meyakini, jika kondisi herd immunity sebagai wujud keberhasilan program vaksinasi dan prokes (6M dan 3T) yang ketat, diikuti pembukaan ekonomi dan mobilitas masyarakat, maka dengan sendirinya permintaan kredit akan meningkat. Jadi ini hanya masalah waktu saja.

Adblock test (Why?)


Ketua OJK Ungkap Kondisi Sektor Keuangan Terkini Saat Pandemi - CNBC Indonesia
Read More

No comments:

Post a Comment

Curahan Hati Calvin Verdonk soal Peluang Main di Timnas Belanda setelah Dinaturalisasi Timnas Indonesia, Katanya The Oranje… - tvOneNews.com

[unable to retrieve full-text content] Curahan Hati Calvin Verdonk soal Peluang Main di Timnas Belanda setelah Dinaturalisasi Timnas Indon...