JAKARTA, investor.id – Peraturan baru Otoritas Jasa Keuangan (POJK) mensyaratkan bank digital berkontribusi terhadap pengembangan ekosistem keuangan guna mempercepat peningkatan inklusi keuangan. Bank dengan layanan digital penuh ini diharapkan bersinergi dengan fintech dan lembaga keuangan bukan bank lainnya, agar penetrasi layanan keuangan menembus seluruh lapisan masyarakat.
Tiga beleid yang baru adalah POJK No 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, POJK No 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum, serta POJK No 14/POJK.03/2021 tentang Perubahan POJK No 34/POJK.03/2018 tentang Penilaian Kembali Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.
POJK No 12/POJK.03/2021 menjelaskan, bank umum terdiri atas bank konvensional yang dapat menyelenggarakan layanan digital (digital banking), serta bank digital (full digital bank). Bank konvensional PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) menyiapkan PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (BRI Agro) menjadi bank digital, demikian pula PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyiapkan PT Bank Digital BCA (BCA Digital) menjadi bank digital. Sedangkan bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, ada bank syariah yang bisa menyelenggarakan layanan digital dan ada bank syariah digital.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengapresiasi kebijakan yang baru diterbitkan POJK Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum yang memuat ketentuan mengenai bank digital tersebut. "Aturan bank digital itu sudah bagus, nah sekarang yang harus diatur itu nonbank, P2P (peer to peer) lending dan e-commerce. POJK baru bank digital ini bagus di era kolaborasi bank dan nonbank. Itulah sebabnya, kami juga mengharapkan ada payung hukum yang mengatur industri nonbank, seperti P2P dan e-commerce yang bisa memberikan pinjaman," ujar Aviliani, akhir pekan lalu.
Aviliani mengatakan, apabila bank melakukan kerja sama dengan nonbank yang berbasis teknologi, risiko bisa saja hanya ditanggung perbankan. Padahal, investasi perbankan pada teknologi informasi (TI) sangat besar, maka perlu diatur juga dari sisi nonbank.
"Jadi kolaborasi dan tanggung jawab masing-masing pelaku harus diatur lebih baik. Jangan sampai hanya bank yang menanggung risiko. OJK tidak bisa lagi berpatok pada risiko konglomerasi, karena integrasi jauh lebih luas," ucap Aviliani.
Selain itu, lanjut dia, dengan adanya POJK Nomor 12/POJK.03/2021, maka pengawasan OJK akan semakin berat. Dengan demikian, diperlukan SDM andal untuk mengawasi dari sisi cybersecurity bank digital.
"Pengawasan konglomerasi itu yang diharapkan (dari) OJK. Sedangkan perbankan sudah relatif menyiapkan diri," tutur Aviliani.
Hal senada diungkapkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Dia mengapresiasi OJK menelurkan aturan yang sudah sejak lama ditunggu industri perbankan itu.
Bhima juga mengusulkan agar OJK menambah SDM bidang pengawasan yang terbaik. Ini karena pekerjaan OJK akan semakin banyak dengan bermunculannya bank digital yang telah memiliki payung hukum.
"Saya usul ke OJK terkait SDM pengawasan bank digital ini, karena kerjaannya berat, maka remunerasinya juga harus naik. OJK harus mencari talenta terbaik yang dapat mengawasi bank digital, terutama dari sisi kejahatan siber," imbuh Bhima.
Bahkan, bila perlu, OJK memberikan remunerasi dua kali lipat dari yang ditawarkan perbankan. Hal ini dikarenakan, sebagai regulator, OJK harus memiliki SDM yang jauh lebih baik untuk bisa mengawasi lembaga jasa keuangan dengan baik.
"Saya minta tolong ke OJK, coba lihat remunerasi talent di bank yang paling besar berapa, nanti SDM OJK remunerasinya ditawari dua kali lipat dari yang terbesar itu untuk cybersecurity. Karena, kerjaannya semakin berat," tandas dia.
Dorong Konsolidasi Perbankan
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, diterbitkannya POJK No 12/POJK.03/2021 salah satunya bertujuan untuk mendukung akselerasi konsolidasi bank sebagai upaya untuk penguatan struktur, serta peningkatan ketahanan dan daya saing perbankan, sehingga lebih kontributif dalam perekonomian nasional. Ini baik melalui peningkatan modal pendirian bank umum baru atau pembukaan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri (KCBLN) baru.
"Kami menyinergikan bank induk dan anak usahanya, bank induk dan bank syariah atau UUS (unit usaha syariah), kami sinergikan sehingga mereka jadi kuat. Dan, ini juga dalam rangka akselerasi konsolidasi kami atur di sana, bank-bank yang akan jadi bank digital menjadi jelas dalam POJK No 12 ini," ucap Heru Kristiyana.
Tujuan lainnya adalah mendorong akselerasi transformasi digital, khususnya transformasi strategi bisnis bank ke arah digital banking dengan menekankan pada aspek efisiensi layanan, perlindungan nasabah termasuk keamanan data nasabah, serta dukungan terhadap inklusi keuangan. Dengan begitu, aturan baru diharapkan membuat bank cepat berinovasi agar tidak tertinggal, salah satunya dengan melakukan konsolidasi untuk bersaing dengan maraknya bank yang bermunculan mengklaim diri sebagai bank digital.
"Kalau bank digital didorong produktif, tidak hanya main ke konsumsi tapi ke industri seperti pertanian, maka bank kecil juga akan ketar-ketir, mereka akan konsolidasi. Harapannya itu yang terjadi," imbuh Bhima.
Bhima menilai kehadiran bank-bank yang mengklaim diri bank digital pun telah menggoyang tatanan bank konvensional. Ini terlihat dari jumlah karyawan bank konvensional berkurang dan penutupan sejumlah kantor cabang.
"Ini karena kehadiran bank yang mengklaim diri sebagai bank digital tersebut sudah mengancam. Jadi, mereka (bank konvensional) harus berubah, atau kalau tidak, mereka kalah saing. Itu akan mengganggu ekosistem, pasti mengganggu," ujar Bhima.
Sementara itu, berdasarkan data OJK, jumlah bank umum sebanyak 107 per Mei 2021, turun dibanding 110 Mei tahun lalu. Total kredit Rp 5.514,4 triliun atau kontraksi 1,28% year on year (yoy). Sedangkan total dana pihak ketiga naik 10,71% menjadi Rp 6.837 triliun
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, total rekening perbankan sebanyak 361,27 juta per Juni 2021, berkurang dibanding 361,6 juta hingga akhir Mei lalu. Sementara itu, OJK sebelumnya menilai ruang bagi peningkatan digital banking masih cukup lebar, karena tingkat penetrasi perbankan digital baru sekitar 39,2% dari masyarakat Indonesia.
Belum Ada Bank Digital
Direktur Penelitian Bank Umum OJK Mohamad Miftah mengatakan, bank di Tanah Air belum ada yang memenuhi ketentuan bank digital, namun baru sebatas masuk kategori sebagai bank yang melakukan layanan perbankan digital. Ia juga mengingatkan bank yang telah mengklaim sebagai bank digital seyogyanya berpedoman pada ketentuan terkait bank digital, termasuk memenuhi persyaratan operasional sebagai bank digital yang ada dalam POJK Nomor 12 Tahun 2021. Bank jangan menjadikan label bank digital hanya sebagai gimmick bisnis semata.
“Hingga saat ini belum ada bank digital yang sesuai persyaratan atau ketentuan khusus dari POJK Nomor 12 tersebut, dan belum ada bank yang mengajukan diri lagi untuk menjadi bank digital. Untuk bank yang (proses) konversi dari konvensional menjadi bank digital itu belum bisa dibilang bank digital. Karena syarat bank digital adalah mereka beroperasi dengan modal inti yang disyaratkan, TI (teknologi informasi) memadai, bisa kelola model bisnis perbankan digital, dan syarat lainnya, yang ada di Pasal 24," papar Miftah.
Adapun Pasal 24 POJK Nomor 12/POJK.03/2021 berisikan syarat bank digital, yakni memiliki model bisnis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam melayani kebutuhan nasabah; memiliki kemampuan untuk mengelola model bisnis perbankan digital yang pruden dan berkesinambungan; dan memiliki manajemen risiko secara memadai.
Kemudian, memiliki aspek tata kelola termasuk pemenuhan direksi yang mempunyai kompetensi di bidang TI dan kompetensi lain sesuai dengan ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatuhan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan; menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah; dan memberikan upaya yang kontributif terhadap pengembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan.
Dari syarat-syarat tersebut, Miftah menilai hingga saat ini belum ada bank digital di Indonesia, meski sudah banyak bank yang mengklaim bahwa dirinya adalah bank digital. Selain itu, lanjut dia, bank yang dapat beroperasi sebagai bank digital dalam POJK Nomor 12 ini hanya berlaku untuk bank berbadan hukum Indonesia (BHI) yang telah mendapatkan izin (lisensi) sebagai bank umum dari OJK. OJK tidak menerbitkan izin bank digital secara khusus, namun bank yang telah mendapatkan izin sebagai bank BHI dapat beroperasi sebagai bank digital, dengan memenuhi persyaratan operasional sebagai bank digital sebagaimana POJK. Ini termasuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan untuk bank BHI.
Dengan demikian, papar dia, KCBLN di Indonesia tidak dapat beroperasi sebagai bank digital. Oleh karena itu, opsi akuisisi bisa dilakukan oleh investor asing untuk memiliki bank digital di Indonesia.
Saat ini, terdapat tujuh bank yang dalam proses go digital atau menjadi bank digital di Indonesia. Bank-bank yang tengah melakukan proses menjadi bank digital adalah Bank BCA Digital, PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk, PT Bank Neo Commerce Tbk (BNC), PT Bank Capital Indonesia Tbk, PT Bank Harda Internasional, PT Bank QNB Indonesia Tbk, dan PT Bank KEB Hana.
Sedangkan bank yang telah menobatkan diri sebagai bank digital antara lain Jenius dari Bank BTPN, Wokee dari Bank KB Bukopin, Digibank milik Bank DBS, TMRW dari Bank UOB, serta Jago milik Bank Jago. Selain itu, ada Motion Banking milik Bank MNC dan Aladin milik Bank Aladin Syariah.
Penuhi Ketentuan Permodalan
POJK Nomor 12/POJK.03/2021 tersebut juga mengatur modal inti minimum untuk pendirian bank berbadan hukum Indonesia konvensional maupun bank digital sebesar Rp 10 triliun. Sedangkan bank digital yang berasal dari konversi bisnis dari bank konvensional diatur memiliki modal inti minimum Rp 3 triliun, namun yang dari konversi bisnis bank konvensional kelompok usaha bank (KUB) hanya dipatok modal inti minimum Rp 1 triliun.
Sejumlah bank tengah melakukan strategi pemenuhan modal inti minimum untuk menjadi bank digital, salah satunya PT Bank Digital BCA. Meski termasuk kategori KUB di bawah BCA, BCA Digital berencana untuk menambah modal menjadi di atas Rp 1,35 triliun, jauh melebih ketentuan batas minimum modal inti tersebut.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja pun mengapresiasi OJK yang akhirnya menerbitkan POJK Bank Umum, yang dinilai dapat membantu perbankan untuk mengarah ke bank digital. "Saya kira ini merupakan usaha OJK untuk membantu operasional bank dan mendorong pengembangan bank digital. Juga tentang masalah PKPU, saya kira ini bermanfaat sekali untuk dunia perbankan," papar Jahja kepada Investor Daily.
Jahja juga melihat ruang untuk memperkuat ‘anak bungsunya’ BCA Digital melalui suntikan modal, meski dalam aturan, diperbolehkan memiliki modal inti minimum Rp 1 triliun untuk bank dalam KUB. Modal inti BCA Digital hingga Juni 2021 sebesar Rp 1,35 triliun, naik dibandingkan posisi Juni 2020 sebesar Rp 1,34 triliun.
Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) Aestika Oryza Gunarto juga menyambut hadirnya POJK mengenai bank digital. Dia mengungkapkan, perseroan saat ini sedang mempersiapkan BRI Agro menjadi digital attacker untuk menghadirkan solusi layanan digital. "Untuk mewujudkan hal tersebut, di setiap tahapannya, BRI sebagai induk usaha maupun BRI Agro akan memenuhi dan patuh terhadap peraturan serta persyaratan yang ditetapkan regulator," kata Aestika.
BRI Agro (AGRO) mencatatkan modal inti senilai Rp 4,21 triliun pada Juni 2021, tumbuh 2,03% dibandingkan posisi yang sama tahun lalu senilai Rp 4,13 triliun. AGRO juga berencana melakukan penerbitan saham baru sebanyak-banyaknya 2,15 miliar saham. Jumlah tersebut setara dengan 9,96% dari modal ditempatkan dan disetor penuh perseroan pada 31 Juli 2021.
"Penetapan jumlah dan harga pelaksanaan, akan memperhatikan kondisi terakhir dari hal-hal antara lain kondisi makroekonomi, industri perbankan dan pasar modal. Selain itu, kondisi fundamental dan kinerja perseroan, volatilitas harga saham perseroan, dan masukan dari pemegang saham," tulis manajemen BRI Agro dalam keterbukaan informasi.
Dana hasil pelaksanaan PMHMETD setelah dikurangi biaya emisi, akan digunakan untuk penguatan permodalan, terutama sebagai modal kerja perseroan dalam rangka penyaluran dana berbasis digital. BRI Agro berencana menyelenggarakan RUPSLB untuk meminta persetujuan pemegang saham yang akan digelar pada 27 September 2021.
Direktur Utama PT Bank Capital Indonesia Tbk Wahyu Aji juga menilai beleid yang baru dirilis OJK memberikan aturan yang semakin jelas bagi perseroan yang ingin konversi menjadi bank digital. Adapun hingga akhir Juni 2021, modal inti bank dengan kode emiten BACA ini sebesar Rp 1,52 triliun. Karena bukan merupakan KUB, maka perseroan belum memenuhi ketentuan OJK untuk memiliki modal inti minimum sebesar Rp 3 triliun agar bank konversi ke bank digital.
Untuk memenuhi ketentuan permodalan tersebut, Wahyu menjelaskan, pihaknya sudah mempersiapkan dengan melakukan rights issue dengan menerbitkan saham baru sebanyak-banyaknya 20 miliar saham. Penambahan modal ini ditujukan memperkuat struktur permodalan sehingga dapat meningkatkan kinerja dan daya saing dalam industri perbankan.
Dengan melakukan aksi korporasi tersebut, pihaknya optimistis bisa mencapai modal inti minimum Rp 3 triliun pada tahun ini. "Sesuai persetujuan RUPSLB sebelumnya, bank berencana menerbitkan 20 miliar lembar saham untuk ekspansi usaha digital. Modal inti minimum diusahakan dapat direalisasikan tahun ini," tegas Wahyu.
Ekosistem BRI Terbaik
Pada kesempatan terpisah, Head of Equity Research BNI Sekuritas Kim Kwie Sjamsudin mengatakan, Grup BRI memiliki potensi ekosistem bank digital yang terbesar. “Bank pelat merah seperti BRI memiliki potensi digitalisasi yang besar, lantaran memiliki sumber daya yang lengkap seperti didukung oleh skala, modal, jaringan dan satelit,” ucapnya.
Kim menjelaskan, saat ini, BRI memfokuskan kembali bisnisnya pada segmen mikro serta menggabungkan strategi offline-online. Hal ini cocok untuk menjangkau unbankable population.
Dalam beberapa tahun terakhir, BRI juga telah aktif mengadopsi teknologi ke dalam bisnis bank. Ini khususnya di bagian penyaluran pinjaman, dengan tiga strategi utama yakni digitalisasi bisnis inti melalui BRImo, BRISpot, dan BRILink. Selain itu, membangun ekosistem digital dengan membangun platform digital dan kemitraan dengan fintech.
Kemudian, BRI juga tengah membangun bank digital baru dengan memposisikan Bank Agro sebagai bank digital. Adopsi digital yang telah dilakukan, lanjut dia, juga terbukti mempersingkat waktu persetujuan pinjaman mikro dari 14 hari menjadi 2 hari pada tahun 2020. Ini membantu meningkatkan kontribusi segmen mikro terhadap total pinjaman menjadi 40% pada tahun 2020, dari 36% pada tahun 2019. (th/jm/pd)
Editor : Esther Nuky (esther@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily
Bentuk Ekosistem Baru, Bank Digital Diharapkan Percepat Inklusi Keuangan - Investor Daily
Read More
No comments:
Post a Comment