Rechercher dans ce blog

Sunday, July 25, 2021

IPO Bukalapak Jadi Exit Strategy Pemodal Lama, Apa Benar? - CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebentar lagi salah satu startup unicorn Tanah Air, PT Bukalapak.com Tbk(BUKA) akan segera resmi menjadi perusahaan publik yang sahamnya bisa diperdagangkan di bursa efek melalui mekanisme penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO)).

Penawaran perdana perusahaan rintisan e-commerce yang digawangi Achmad Zaky ini menjadi perbincangan yang hangat di berbagai kalangan mulai dari investor, regulator, hingga para analis.

Pasar dipenuhi dengan euforia mulai dari investor institusi hingga ritel berebutan mengantre memesan saham yang akan melantai dengan kode BUKA ini hingga dikabarkan pemesanan mengalami kelebihan pemesanan (oversubscribe) sebesar 4 kali.


Namun banyak juga kalangan yang mencibir atas euforia yang terjadi di pasar.

Sebagian besar dari mereka adalah penggiat value investing. 'Kok mau ya beli perusahaan rugi dengan harga premium?'.

Kurang lebih begitulah yang menjadi pertanyaan para value investor.

Memangnya benar ya harga saham BUKA tergolong premium. Tanpa basa-basi lagi mari kita ulas bagaimana kinerja BUKA selama ini.

Lebih dari satu dekade berdiri BUKA masih membukukan kerugian. Net loss BUKA sebesar Rp 303,8 miliar hingga kuartal pertama tahun ini.

Kalau dilihat lebih ke belakang lagi yakni tahun 2020 total rugi berjalan perusahaan e-commerce yang dibekingi Emtek Group (EMTK) ini mencapai Rp 1,35 triliun. Dengan ekuitas (modal) sebesar Rp 1,61 triliun tahun lalu, maka jelas kerugian tersebut terlihat sangat besar.

Dalam prospektus BUKA, perusahaan akan menerbitkan sebanyak 25,76 miliar saham atau setara dengan 25% dari saham yang disetor dan ditempatkan perseroan.

Harga penawaran disebut akan dipatok di level tertingginya yakni Rp 850/saham, dengan begitu total dana yang akan diraup jika IPO-nya sukses akan mencapai Rp 21,9 triliun.

Target indikatif kapitalisasi pasarnya setelah IPO mencapai Rp 87,6 triliun. Saham BUKA sendiri akan masuk ke dalam indeks sektoral teknologi.

Dengan market cap sebesar itu maka BUKA akan menjadi perusahaan terbesar ke-15 tepat di bawah bank pelat merah PT Bank Negara Indonesia (Persero)Tbk (BBNI) tentunya ini belum menghitung kenaikan BUKA di hari pertama perdagangan, di mana seringkali saham-saham yang baru saja IPO melesat hingga level tertinggi harian (ARA, kenaikan 25% dalam sehari).

Selain itu bobot indeks teknologi yang tadinya hanya 5,52% dari total kapitalisasi pasar IHSG akan terkerek menjadi 6,69%.

Selanjutnya jika melihat dana yang diraup dari penawaran perdana mencapai hampir Rp 22 triliun maka total ekuitas dalam neraca BUKA bakal menjadi Rp 23,6 triliun atau naik hampir 20 kali lipat sehingga didapatkan rasio Price to Book Value (PBV) masih di kisaran 3,5 kali pasca-IPO.

Menariknya para value investor menganggap apabila valuasi ini sangatlah mahal, apalagi jika melirik pendapatan BUKA yang hanya berada di angka Rp 1,35 triliun di tahun 2020 maka Price to Sales Ratio (PSR) metrik yang biasa digunakan untuk melakukan valuasi saham emiten peritel akan berada di angka 64 kali, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan peritel yang melantai di bursa yang PSR-nya hanya berada di bawah 2 kali.

Menariknya apabila investor menggunakan pendapatan buka sebagai pembanding makan tidak akan apple to apple dengan perusahaan peritel lain karena sejatinya pendapatan BUKA hanyalah total komisi yang diterima BUKA dari transaksi yang terjadi di platform Bukalapak.com, sedangkan di perusahaan peritel lain, pendapatan yang diterima adalah hasil seluruh penjualan peritel tersebut.

Berbagai metrik valuasi yang lebih mencerminkan model bisnis perusahaan seperti menggunakan Gross Merchandise Value (GMV), Gross Transaction Value (GTV) hingga Total Processing Value (TPV) lebih cocok diterapkan.

Secara konservatif angka TPV paling cocok digunakan karena angka ini menghitung berapa total pembelian yang sudah dibayarkan oleh konsumen yang terjadi di platform Bukalapak.

Jika melihat angka TPV BUKA tercatat mencapai Rp 85,08 triliun di tahun 2020 sehingga rasio P/TPV perusahaan berada bawah 1 tepatnya 1,02 kali sehingga valuasinya cenderung wajar.

Apalagi mengingat pada tahun 2018 TPV Bukalapak hanya berada di angka Rp 28,34 triliun yang artinya ada pertumbuhan sebesar 44,26% secara compounding per tahun (CAGR). Inilah yang dinilai menarik oleh para investor terutama mereka yang 'bermazhab' growthinvesting.

Next: Pro-Kontra di Aspek Lain

Adblock test (Why?)


IPO Bukalapak Jadi Exit Strategy Pemodal Lama, Apa Benar? - CNBC Indonesia
Read More

No comments:

Post a Comment

Pindah Tim Usai Juara MotoGP, Jorge Martin Ikuti Jejak Valentino Rossi - detikOto

[unable to retrieve full-text content] Pindah Tim Usai Juara MotoGP, Jorge Martin Ikuti Jejak Valentino Rossi    detikOto Anak Emas vs An...