Jakarta, CNBC Indonesia - Investor kawakan sekaligus miliarder Warren Buffet menambah daftar panjang para petinggi perusahaan atau eksekutif yang meyakini tingkat inflasi yang serius mulai berlangsung.
Keyakinan tersebut bertumpu pada kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) yang mulai membaik seiring kucuran stimulus besar-besar pemerintahan Joe Biden, pascaanjlok akibat dampak Pandemi Covid-19.
Peringatan 'dini' dari Warren Buffet soal inflasi ini bisa menjadi ancaman bagi pasar saham, karena inflasi yang semakin meninggi bisa membuat bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), perlahan menaikkan suku bunga dan mengurangi pembelian surat berharga di pasar (tapering).
Sejurus dengan itu, investor yang khawatir dengan kenaikan suku bunga tersebut dan fenomena taper tantrum (koreksi berjamaah indeks bursa negara berkembang karena The Fed mengurangi pembelian surat berharga di pasar) akan memindahkan dananya atau terjadi capital outflow.
"Kita sedang menyaksikan inflasi yang substansial. Kita menaikkan harga. Orang-orang menaikkan harga kepada kita, dan hal itu diterima," kata Buffett pada pertemuan pemegang saham tahunan Berkshire Hathaway yang disiarkan secara eksklusif oleh Yahoo Finance, dikutip CNBC Indonesia, Senin (3/5/2021).
Buffett menyebut biaya baja yang jauh lebih tinggi berdampak pada bisnis perumahan dan furnitur Berkshire, perusahaan milik Buffet.
"Orang-orang memiliki uang di saku mereka, dan mereka membayar harga yang lebih tinggi ... ini hampir seperti kegilaan membeli," kata Buffett, sembari mencatat bahwa ekonomi sedang "panas membara."
Sang "Orakel dari Omaha" ini, julukan Buffet, tidak sendirian dalam memerangi inflasi saat ini, mulai dari harga baja yang lebih tinggi hingga harga tembaga yang tak terkendali.
Jumlah penyebutan kata "inflasi" selama rapat pendapatan kuartal pertama bulan ini telah meningkat tiga kali lipat dari tahun ke tahun. Angka ini merupakan lompatan terbesar sejak 2004, menurut penelitian terbaru dari ahli strategi Bank of America Savita Subramanian. Bahan mentah, transportasi, dan tenaga kerja disebut-sebut sebagai pendorong utama inflasi.
Penelitian Subramanian menemukan bahwa jumlah penyebutan inflasi secara historis memimpin indeks harga konsumen (IHK/CPI) hingga seperempatnya, dengan korelasi 52%. Dengan kata lain, Subramanian berpendapat investor bisa melihat kenaikan "kuat" inflasi dalam beberapa bulan mendatang setelah putaran terakhir komentar C-suite atau rapat tingkat eksekutif perusahaan.
"Inflasi bisa dibilang topik terbesar selama musim pendapatan ini, dengan beragam sektor (Konsumen/Industri/Material, dll.) mengutip adanya tekanan inflasi," catat Subramanian.
Saat ini, kata Yahoo Finance, sejumlah perusahaan terbesar dunia sedang mengambil tindakan, seperti halnya Buffett di Berkshire.
Proctor & Gamble mengatakan baru-baru ini akan mulai menaikkan harga produk perawatan bayi, perawatan wanita dan inkontinensia dewasa di Amerika Serikat.
Kenaikan harga akan berkisar dari persentase satu digit menengah hingga tinggi. Kenaikan tersebut akan mulai berlaku pada pertengahan September.
CFO Whirlpool Jim Peters baru-baru ini mengatakan kepada Yahoo Finance Live bahwa pembuat peralatan baru saja menaikkan harga sebesar 5% hingga 12% untuk mengatasi kenaikan biaya baja.
Selain itu, produsen tisu Kimberly-Clark mengatakan akan menaikkan harga produk di AS dan Kanada pada sebagian besar produk konsumennya karena inflasi biaya komoditas yang "signifikan". Adapun persentase kenaikan akan berkisar dari satu digit menengah hingga tinggi dan mulai berlaku pada bulan Juni.
The Fed Tetap Longgarkan Kebijakan Moneter
Terkait dengan inflasi, The Fed tetap dovish dengan memberikan jaminan bahwa kekhawatiran seputar taper tantrum sudah memudar.
Dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 0,25% serta program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Suku bunga The Fed baru akan dinaikkan setidaknya di tahun 2023.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat di tahun ini dikatakan karena program vaksinasi serta dukungan kebijakan moneter dan fiskal.
"Di tengah kemajuan program vaksinasi serta dukungan kebijakan yang kuat, indikator perekonomian serta tenaga kerja telah menunjukkan penguatan," tulis komite pembuat kebijakan The Fed (FOMC).
Meski demikian, tingginya pertumbuhan ekonomi dinilai hanya sementara, dan masih belum merata sehingga kebijakan moneter ultra longgar masih diperlukan.
"Pemulihan ekonomi masih belum merata dan masih jauh dari kata selesai. Inflasi dalam beberapa bulan ke depan akan tinggi, tetapi kenaikan tersebut cenderung memiliki efek sementara" kata ketua The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers sebagaimana dikutip CNBC International, Kamis (29/4/2021).
Powell sekali lagi menegaskan saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan pengetatan moneter, termasuk pengurangan nilai QE.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
(adf/adf)
Warning Warren Buffett! Inflasi AS jadi Hantu Pasar Saham Market - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment