Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas manufaktur negara-negara di ASEAN mengalami kemunduran di tengah gempuran sentimen global yang terus terjadi hingga saat ini.
PMI manufaktur Indonesia tercatat mengalami penurunan menjadi 51,5 pada Oktober 2023 dari yang sebelumnya sebesar 52,3 dan posisi ini merupakan yang terendah dalam lima bulan terakhir.
Kendati melandai, namun PMI manufaktur Indonesia sudah berada dalam fase ekspansif selama 26 bulan terakhir. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
Sementara jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN PMI manufaktur Indonesia masih cukup baik mengingat PMI manufaktur seperti Vietnam, Myanmar, dan Thailand mengalami penurunan menjadi masing-masing 49,6, 49, dan 47,5. Berbeda halnya dengan Malaysia yang stagnan di posisi 46,8.
Lebih lanjut, untuk negara raksasa seperti China dan India pun turut mengalami penurunan dari sisi PMI manufakturnya. PMI manufaktur China turun dari 50,6 menjadi 49,5 atau dengan kata lain dari ekspansif menjadi kontraksi. Sedangkan PMI manufaktur India turun cukup jauh yakni sebesar 2 poin dari 57,5 menjadi 55,5.
PMI Vietnam turun ke 49,6 pada Oktober, dri 49,7 pada Septmber sementara PMI Thailand turun menjadi 47,5 pada Oktober dari 47,8 pada September.
Alasan Dibalik Turunnya PMI Manufaktur
Penyebab perlambatan aktivitas manufaktur berbagai negara ini yakni konflik di Timur Tengah yang mendorong harga minyak dunia (Brent & WTI) melonjak tinggi, biaya produksi/manufaktur yang meningkat, dan permintaan global yang di bawah tekanan.
Harga minyak dunia mengalami kenaikan cukup signifikan khususnya dari Juni hingga akhir September 2023. Pada Juni 2023, tercatat harga minyak dunia berkisar di angka US$70/barel dan terus merangkak naik menjadi sekitar US$90/barel pada akhir September 2023 atau naik kisaran 28,57% hanya dalam tiga bulan.
Lonjakan harga minyak tersebut terjadi akibat kisruh geopolitik maupun ekonomi. Pasalnya kebijakan ekonomi dapat menentukan permintaan minyak. Begitu juga dengan perang yang dapat membuat pasokan minyak berkurang.
Khususnya pada saat ada perang Israel dan Hamas ditakutkan aliran minyak akan tersendat. Alhasil harga minyak dunia melejit hingga menyentuh lebih dari US$90 per barel dan menjadi tertinggi sepanjang 2023.
Tidak hanya itu, harga minyak dunia yang naik signifikan juga dipengaruhi oleh Arab Saudi dan Rusia memperpanjang pengurangan produksi sukarela mereka hingga akhir tahun. Kedua negara penghasil minyak melakukan kebijakan tersebut ketika persediaan minyak mentah dan hasil sulingan berada pada tingkat yang sangat rendah.
Dengan tingginya harga minyak dunia, maka ongkos produksi (cost of production) akan menjadi mahal dan berdampak pada naiknya inflasi di berbagai negara. Alhasil hal ini akan membebani perusahaan dengan perlunya untuk menaikkan harga jual untuk tetap mempertahankan margin profit di tengah permintaan global (demand market) yang rendah.
Lemahnya permintaan global terjadi dibuktikan dengan turunnya ekspor khususnya dari negara China yang merupakan negara dengan ekspor terbesar di dunia dan berdampak besar bagi ekspor global. Secara year on year/yoy, ekspor China tercatat menurun sejak Mei 2023 hingga September 2023.
PMI China juga jeblok PMI Manufaktur China juga jatuh ke fase kontraksi yakni 49,5 pada Oktober dari fase ekspansif 50,6 pada September. Padahal, China adalah motor ekonomi Asia dan berkontribusi sebesar 24% dari total ekspor Indonesia.
Melemahnya PMI China sudah terekam dari ekspor dan impor. China melaporkan penurunan ekspor yang lebih kecil dari perkiraan pada September 2023 menurut data bea cukai yang dirilis 13 Oktober 2023. Dalam dolar AS, ekspor terkoreksi 6,2% (yoy) pada September. Angka tersebut kurang dari perkiraan koreksi sebesar 7,6% yang diprakirakan oleh para analis dalam jajak pendapat Reuters.
Perdagangan China merosot tahun ini di tengah lesunya permintaan global terhadap barang-barang China dan melemahnya permintaan domestik. Pemulihan negara dari pandemi ini melambat dalam beberapa bulan terakhir, terseret oleh kemerosotan besar-besaran di sektor real estat.
Bank Dunia pernah memperingatkan bahwa perlambatan ekonomi di China menjadi salah satu risiko yang bisa mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun demikian, dampaknya lebih minim dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Thailand.
Bank dunia juga mencatat efek dari simulasi perlambatan 1% di China berdampak pada penurunan 0,1 poin persentase di tingkat pertumbuhan Indonesia hingga penurunan hampir 0,6 poin persentase di Malaysia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)[Gambas:Video CNBC]
Manufaktur Tetangga RI Ambruk Berjamaah, Siapa Terparah? - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment