Rechercher dans ce blog

Saturday, December 18, 2021

Harga Minyak Ambruk, Ramalan Tembus US$ 100/Barel Batal? - CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia pada pekan ini mencatatkan koreksi cukup parah, meskipun dalam peride harian, sepanjang pekan ini harga minyak mentah dunia cenderung volatil.

Harga minyak kontrak Brent ambruk 2,17% dibanding posisi penutupan pekan lalu ke US$ 73,52/barel. Sedangkan untuk minyak kontrak West Texas Intermediate (WTI) merosot 1,13% ke US$ 70,86/barel pekan ini.


Secara harian, harga minyak mentah dunia cenderung volatil. Pada awal pekan ini, kedua jenis minyak mentah acuan dunia tersebut sempat terkoreksi selama dua hari. Namun pada Rabu (15/12/2021) dan Kamis lalu, harganya langsung rebound ke zona hijau. Tetapi pada perdagangan Jumat akhir pekan lalu, harganya kembali terkoreksi.

Sepertinya, koreksi harga minyak mentah hanya sebatas alasan teknikal. Maklum, harga si emas hitam sebelumnya berada dalam tren kenaikan, sehingga investor tergiur dengan cuan itu dan akhirnya pun kontrak minyak mengalami tekanan jual.

Ke depan, sepertinya prospek harga minyak tetap cerah. Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) meyakini permintaan minyak akan tinggi.

Dalam laporan terbarunya, OPEC memperkirakan rata-rata permintaan minyak pada kuartal I-2022 adalah 99,13 juta barel/hari. Naik 1,1 juta barel/hari dari proyeksi sebelumnya.

Kemunculan virus corona (Covid-19) varian Omicron, menurut OPEC, tidak akan berdampak signifikan seperti varian Delta. Efek varian Omicron diperkirakan ringan dan temporer saja.

"Pemulihan ekonomi berlanjut pada kuartal IV-2021 dan terus terjadi pada kuartal I-2022. Dampak varian Omicron sepertinya akan ringan dan temporer, karena dunia sudah lebih siap mengatasi Covid-19 dan berbagai tantangan yang menyertainya," sebut laporan bulanan OPEC.

Untuk sepanjang 2022, OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia naik 4,15 juta barel/hari dari tahun ini. Pada kuartal III-2022, permintaan minyak dunia akan melampaui 100 juta barel/hari, kembali ke masa sebelum pandemi.

Di lain sisi, Kementerian Energi Amerika Serikat (AS) telah menjual 18 juta barel minyak mentah dari (SPR) pada Jumat lalu. Penjualan ini adalah langkah pertama dari rencana melepas 50 juta barel yang diumumkan Washington bulan lalu. Sisanya akan dirilis beberapa bulan mendatang melalui bursa, yang harus dikembalikan ke SPR dengan bunga.

AS merangkul negara-negara konsumen lainnya seperti China, India, dan Korea Selatan. Ketiganya bukan merupakan anggota OPEC.

Mengacu data Administrasi Informasi Energi (EIA), AS dan kelompoknya memproduksi minyak mentah 15,76 juta barel per hari (Mb/d). Jumlah ini setara 20,37% produksi dunia. Sementara OPEC memproduksi 28,87 Mb/d, sama dengan 37,32% produksi dunia.

Pertukaran pertama dengan EXXon Mbil Corp, perusahaan minyak terbesar AS, dengan 4,8 juta barel, kata departemen itu.

"Ketika DOE bergerak maju dengan penjualan, permintaan pertukaran akan terus diterima dari pihak yang berkepentingan dan disetujui sebagaimana mestinya untuk mengatasi gangguan pasokan," kata departemen itu.

"Rilis (cadangan minyak) hanya akan memberikan perbaikan jangka pendek untuk defisit struktural dan akan menciptakan risiko kenaikan yang jelas untuk perkiraan harga 2022 kami," tulis Goldman Sachs.

Masalah yang lebih fundamental adalah investasi di produksi minyak yang terhambat oleh kekhawatiran lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) dan kekhawatiran tentang pemanasan global.

Bank sebagai sumber pendanaan pun memberikan pinjaman dengan bunga lebih tinggi untuk minyak dibandingkan proyek energi hijau.

"Kerusakan investor akibat kehancuran modal produsen minyak selama tujuh tahun terakhir kini diperparah dengan alokasi (dana ke) ESG," kata Goldman.

AS dan OPEC+ sendiri sempat "berseteru" mengenai kenaikan produksi. AS menilai OPEC+ dapat menekan harga minyak dunia dengan menaikkan produksi.

OPEC+ tidak setuju dengan alasan jumlah produksi saat ini akan membuat pasar minyak mentah surplus tahun depan.

AS memiliki kepentingan menekan harga bensin akibat melonjaknya harga minyak dunia. Harga bensin yang tinggi membuat inflasi AS menjadi sangat tinggi dan membuat ekonomi panas.

"Presiden dengan tepat percaya bahwa orang Amerika layak mendapatkan bantuan sekarang dan telah mengizinkan penggunaan SPR untuk menanggapi ketidakseimbangan pasar dan mengurangi biaya bagi konsumen," kata Menteri Energi Jennifer Granholm.

TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]

(chd/chd)

Adblock test (Why?)


Harga Minyak Ambruk, Ramalan Tembus US$ 100/Barel Batal? - CNBC Indonesia
Read More

No comments:

Post a Comment

Siapa Diuntungkan Turunnya BI Rate? - Kompas.com

[unable to retrieve full-text content] Siapa Diuntungkan Turunnya BI Rate?    Kompas.com Saham BBRI Terbang Sampai 30%, Ini Bocoran Inves...